STRES DAN KECEMASAN DALAM OLAHRAGA



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Olahraga adalah sebuah yang ditinjau dari berbagai dimensi. Olahraga selaim dimensi fisik olahraga juga dikaji dari dimensi psikis. Dimensi psikis atau jiwa dalam aktivitas jasmani dan olahraga merupakan bagian terpenting dalam penampilan seorang olahragawan. Beberapa keadaan psikologis yang terjadi pada olahragawan sangatlah kompleks. Kompleksitas tubuh manusia dalam menghadapi respon dan tekanan merupakan kondisi yang sering terjadi dalam aktivitas jasmani dan olahraga.
Hal yang sering terjadi dalam lingkup aktivitass jasmani dan olahraga adalah timbulnya kegairahan, ketegangan, dan kecemasan. Terkait kegairahan para atlet butuh untuk belajar mengontrol kegairahan meraka. Meraka harus bisa mengatasi kondisi ketika mereka merasa lesu dan terpuruk (down) yang diakibatkan karena rasa cemas atau nervous. Kuncinya adalah pada individu atlet sendiri, yaitu dengan menemukan level permainan (motivasi) terbaik mereka tanpa menghilangkan teknik dan konsentrasi meraka. Berbagai variasi dalam mengatur motivasi secara detail yang akan bisa membantu setiap individu yang bergelut dalam bidang olahraga dan latihan (fisik) mengatur tingkat tertinggi motivasi mereka. Proses pertama dari proses ini adalah dengan belajar bagaimana mereka menyadari atau menjadi care terhadap perasaan cemas dan kondisi motivasi (kegairahan) mereka.
Terkait dngan ketegangan (stress) khususnya olahraga kompetitif, atlet harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi memberikan pengalaman stress terhadap dirinya seperti sorakan dan cemoohan penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan dalam berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik maupun kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya stress.
Kecemasan sebagai salah satu kajian psikologis yang unik dan menarik yang terjadi pada manusia dan olahragawan. Kejadian-kejadian yang penting dalam menghadapi, saat dan akhir pertandingan dalam olahraga sangat dipengaruhi oleh tingkatan kecemasan dari pelaku olahraga, baik atlet, pelatih, wasit, maupun penonton. Perasaan cemas diakibatkan karena bayangan sebelum pertandingan dan saat pertandingan, hal tersebut terjadi karena adanya tekanan-tekanan secara kejiwaan pada saat bermain dan sifat kompetisi olahraga yang didalamnya sarat dengan perubahan dari keadaan permainan ataupun kondisi alam yang membuat menurunnya kepercayaan diri dari penampilan olahragawan.
Kegagalan para olahragawan kadang salah satunya karena adanya kekurang mantapan mental yang terjadi karena adaanya jiwa pencemas dalam menghadapi pertandingan. Perasaan cemas yang mengakibatkan terganggunya kemampuan individu atau tim dalam mengeluarkan segala kemampuan fisik yang dimilikinya. Dengan sebab-sebab kecemasan yang mengakibatkan menurunnya penampilan yang pada akhirnya membuat kegagalan dalam pertandingan olahraga.
B.     Rumusan Masalah
1.      Jelaskan definisi stress dan kecemasan
2.      Jelaskan faktor stress dan kecemasan dalam olahraga
3.      Cara mengatasi stress dan kecemasan dalam olahraga
4.      Gejala – gejala stress dan kecemasan dalam olahraga
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi stress dan kecemasan
2.      Untuk mengetahui faktor – faktor terjadinya stress dan kecemasan dalam olahraga
D.    Manfaat
1.      Untuk menambahkan pengetahuan tentang definisi dari stress dan kecemasan
2.      sebagai bahan referensi
3.      sebagai bahan media pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Kecemasan dan Stres
Anxiety (kecemasan) adalah kondisi emosi negatif ditandai perasaan gugup, kuatir dan takut dan diikuti oleh aktivasi atau arousal dalam tubuh (Weinberg & Gould, 1995 dalam Jarvis, 1999). Bisa dikatakan bahwa kecemasan adalah arousal yang tidak nyaman. Cemas adalah kombinasi antara intensitas perilaku dan arah dari emosi yang lebih bersifat negatif (Bird, 1986). Sebelum pembahasan lebih jauh, perlu diberi pengertian beberapa istilah yang sering kali digunakan secara bergantian. Istilah tersebut adalah kegairahan (Aurosal), kecemasan (Anxiety), dan stress (Ali Maksum, 2007 : 56). Kegairahan adalah kesiapan psikis dan fisiologis secara umum diri individu. Kecemasan adalah keadaan emosi negatif yang ditandai oleh perasaan khawatir, was-was, dan disertai dengan peningkatan aktivitas sistem tubuh. Stress adalah ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan untuk memenuhi tuntunan tersebut. Menurut freud, kecemasan adalah fungsi ego yang membuat orang-orang waspada terhadap bahaya yang harus ditanggulangi atau dihindari, yang pada kahirnyaperasaan cemas memungkinkan orang-orang bereaksi terhadap situasisituasi mengancam dalam cara yang adaptif (M. Fahmi, 1996 : 29)
Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari tubuh. Ketegangan-ketegangan ini adalah akibat dari dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf yang otonom, misalnya kalau seorang menghadapi keadaan yang berbahaya hatinya berdenyut lebih cepat, ia bernafas lebih pesat, mulutnya menjadi kering dan tapak tangannya berkeringat (Calvin. S, 1890 : 83) Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman (Kaplan, 1997 : 3).
Kecemasan memperingatkan ancaman cedera pada tubuh, rasa takut, keputusasaan dari orang yang dicintai, gangguan pada seseorang atau status seseorang. Pengertian umum, kecemasan merupakan suatu kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada diri seseorang
Stress adalah proses dimana seorang individu merasa menerima tekanan dan meresponnya dengan serangkaian perubahan-perubahan fisik dan psikis termasuk meningkatkan arousal dan merasakan cemas. Jadi, stress mempunyai dimensi yang lebih luas dibandingkan arousal dan anxiety. Kita merasakan stres ketika berhadapan dengan tuntutan yang sulit untuk kita penuhi dan akan berdampak serius jika tidak dilaksanakan. Jika stres berlangsung lama dan dengan kuantitas serta kualitas yang tinggi, maka akan menjadi gangguan emosi yang berbahaya. Berbagai defenisi mengenai Stress telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdaphpat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan Stress sebagai “the nonspesific response of the body to any demand”, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan “stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources” (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak bahwa Stress lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye (1950) juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan stress, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu. Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) pada tubuh diaktifkan.
Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu merupakan awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stress sebagai berikut :
1.      Stage of Alarm
Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
2.      Stage of Appraisals
Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
3.       Stage of Searching for a Coping Strategy
Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stress) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stress tersebut berlangsung.
4.      Stage of The Stress Response
Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stress yang berkepanjangan. Dampak dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.
Disamping membagi stress kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threat memiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan berdasarkan perspektif waktunya. Harm-loss digunakan untuk menerangkan stress yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stress akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge (tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stress yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya menjadi positif.
Dalam olahraga kompetitif, atlet harus mampu mengelola tuntutan-tuntutan dengan mengidentifikasi kemampuannya. Efektifitas coping dalam olahraga merupakan proses penyesuaian dengan penampilan atlet di dalam aktivitas olahraga, maksudnya atlet melakukan coping terhadap situasi-situasi yang mengakibatkan munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam situasi tersebut, aspek harus yang terlibat adalah kognitif, emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai kompetensi yang dimiliki atlet. Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan (sumber-sumber, perilaku coping) yang mampu mengatasi tuntutan-tuntutan yang mengakibatkan stress.
Madden (1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan dengan baik merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis setiap atlet akan siap menghadapi berbagai tuntutan yang datang pada dirinya. Upaya yang bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan melakukan kegiatan relaksasi.
Latihan merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, stress dapat dikurangi dengan melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti perasaan takut, ketegangan otot dan sebagainya  bisa dikurangi. Relaksasi juga merupakan teknik coping yang bisa mengurangi tingkat arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi didasarkan pada prinsip Wolpe’s tentang principle of reciprocal inhibition menganggap bahwa respon-respon maladaptive (ketegangan yang diakibatkan oleh stress) dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau menghambat untuk memulai dan melakukan sesuatu. Jika atlet bisa mencapai keadaan relaks, secara logika tidak konsisten dan berlawanan dengan keadaan psikologis. Selain itu, Madden (1995) mengatakan strategi kognitif seperti associative dan dissociative merupakan strategi coping pada atlet untuk memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya (associative strategy), dan pemikiran atau perasaan yang membantu untuk mengambil perhatian dari atlet pada kondisi fisiologis (dissociative strategies). Pengaruh yang signifikan pada lingkungan yang terdiri dari stimuli akan dirasakan atlet dalam pertandingan.
Konsep coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya dengan lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi hierarkhi yang berkembang dari yang belum matang (immature) dan mekanisme primitif yang menyimpang dari kenyataan, kepada mekanisme yang matang. Lazarus dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997) merumuskan strategi hierarkhi tersebut sebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling tinggi dan meningkat pada kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme coping yang baik untuk digunakan.
Jenis kecemasan ditijau dari bagaimanaterjadinya kecemasan :
    Kecemasan yang terkondisionir adalah kecemasan yang merupakan hasil dari ”kondisioning” dari pengalaman masa lalu.
    Kecemasan karena kekurangan keterampilan (instrumental defisit) misalnya kecemasan yang terjadi pada orang yang pemalu, terhambat dalam pergaulan, yang semakin ia menghindari pergaulan semakin ia menjadi pemalu.
    Kecemasan karena pernyataan diri yang menimbulkan kecemasan misalnya yang disebabkan oleh proses berfikir yang terus-menerus berlangsung dimana terjadi evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri.
    Kecemasan karena tindakan yang dilakukannya sendiri misalnya oleh karena pekerjaan yang dipilihnya terlalu berat atau karena ia mengambil tanggung jawab yang terlalu berat.
    Kecemasan yang dikaenakan lingkungan fisik atau sosial yang gawat contonya kareana orang tua yan gterlalu kejam erhadap anaknya. Tuntutan pelatih yang tidak realistis bagi kemampuan atlet.
B.  Faktor-faktor Kecemasan dan Stres dalam Olahraga
Faktor-fator yang menyebabkan terjadinya ketegangan dalam lapangan
1.      Faktor instrinsik terjadi karena kurangnya kesiapan mental individu dalam menghadapi suatu pertandingan. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya performance maksimal atlet, mental yang tegar, sama halnya dengan teknik dan fisik, akan didapat melalui pelatihan yang terencana, teratur dan sistematis Dalam membina aspek psikis atau mental atlet, pertama-tama perlu disadari bahwa setiap atlet harus dipandang sebagai individu yang satu berbeda dengan yang lainnya, untuk membantu mengenal profil setiap atlel dapat dilakukan pemeriksaan psikologis (psikotest) dengan bantuan psikometri. Profil psikologi atlet biasanya beruapa gambaran kepribadian secara umum, potensi intelektual, dan fungsi daya pikirnya yang dihubungkan dengan olah raga.
2.      Faktor ekstrinsik terjadi karena adanya ketegangan mental yang timbul dari lawan bertanding maupun provokasi supporter lawan, apabila mental bertanding atlet itu baik maka berbagai macam provokasi dari siapapun tidak akan berpengaruh terhadap performanya, akan tetapi apabila mental bertanding atlet itu buruk maka performa terbaiknya tidak akan muncul, sehingga merugikan diri sendiri, tim, dan clubnya
C.  Cara Mengatasi Kecemasan dan Stres
Cara-cara menanggulangi ketegangan dan kecemasan, khususnya dalam menghadapi pertandingan:
1.      Mengidentifiksikan dan temukan sumber utama dan permasalahan yang menimbulkan kecemasan dan ketegangan
2.      Melakukan latian simulasi, yaitu latian dibawah kondisi seperti dalam pertandingan sesungguhnya, misalnya sparing partner dihadapan supporter baik lawan maupun kawan.
3.      Mengusahakan untuk mengingat, memikirkan dan merasakan kembali saat-saat ketika mencapai penampilan yang paling baik atau mengesankan.
4.      Melakukan latian relaksasi progesif, yaitu melakukan peregangan atau pengendoran otot-otot tertentu secara sistematis dalam waktu tertentu.
5.      Melakukan latihan otogenic, yaitu bentuk latihan relaksasi yang sistematis memikrkan dan merasakan bagian-bagian tubuh menjadi hangat dan berat.
6.      Melakukan latihan pernafasan dengan bernafas melalui mulut dan hidung secara sadar bernafas dengan mengunakan diafragma.
7.      Mengalihkan perhatian misalnya mendengarkan musik atau berkomunikasi dengan kawan.
8.      Menggunakan ”model training method” dengan mengatur situasi komeptitif sedimikian rupa sehingga sama dengan keadaan aktual dari situasi pertandingan, dengan maksud agar ia terbiasa menghadapi bermacam-macam stres.
9.      tres sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya, tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan karakteristik individu, maka responnya berbeda- beda untuk setiap orang. Seseorang yang mengalami stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang terjadi.
D.  Gejala Stres
1.      Cary Cooper dan Alison Straw mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini :
a.         Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan tenggorokan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaanterganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.
b.         Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas, sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, susah konsentrasi, dan sebagainya.
c.         Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati yang berlebihan, menjadi lekas panik, kurang percaya diri, penjengkel.

2.      Menurut Braham, gejala stres dapat berupa tanda-tanda,sebagai berikut :
a.         Fisik, yaitu sulit tidur atau tidak dapat tidur teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal.
b.         Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung, terlalu sensitif,gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis.
c.         Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi, suka melamun, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja
d.         Interpersonal, yaitu acuh, kurang percaya kepada orang lain, sering mengingkari janji, suka mencari kesalahan orang lain, menutup diri, mudah menyalahkan orang lain.
3.      Hardjana (1994) mengemukakan bahwa terdapat kriteria-kriteria gejala-gejala stress, antara lain :
a.         Gejala fisikal:
Sakit kepala, pusing, pening. tidur tidak teratur, insomania atau susah tidur, bangun terlalu awal, sakit punggung, terutama bagian bawah ,mencret-mencret dan radang usus besar, sulit buang air besar, sembelit. gatal – gatal pada kulit. urat-urat tegang terutama leher dan bahu, keringat berlebih, terganggu pencernaan atau bisulan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, berubah selera makan, lelah atau kehilangan daya energy, bertambah banyak melakukan kekeliruan dan kesalahan dalam kerja dan hidup.
b.        Gejala Emosional
Gelisah dan cemas,  sedih, depresi, mudah menangis, merasa jiwa dan hati atau mood berubah-ubah dengan cepat, mudah panas dan marah, gugup,  rasa harga diri menurun  dan merasa tidak aman, rasa harga diri menurun  dan merasa tidak aman, marah-marah, gampang menyerang orang dan bersikap bermusuhan, emosi mengering  kehabisan sumber dayamental (burn out).
c.         Gejala Kognitf
Susah berkonsentrasi dan memusatkan pikiran, sulit mengambil keputusan, mudah terlupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun secara berlebihan, pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat, produktifitas atau prestasi kerja menurun, mutu kerja yang rendah.
d.        Gejala Interpersonal
Kehilangan kepercayaan terhadap orang lain., mudah mempermasalahkan orang lain., mudah membatalkan janji atau tidak memenuhi perjanjian, suka mencari – cari kesalahan orang lain atau menyerang orang dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan diri, membiarkan orang lain.







BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat simpulkan bahwa:
1. Atlet harus dilatih agar tingkat Kecemasan, stress dan ketegangannya makin lama makin rendah (tapi jangan hilang sama sekali) dan ambisinya untuk menang semakin ditingkatkan.
2. Menjadi semakin penting untuk memberikan latihan-latihan peredaan kecemasan, stress dan ketegangan kepada atlet-atlet atau anak didik.
3. petunjuk-petunjuk peredaan Anxiety dan kecemasan akan efektif apabila diberikan pada saat-saat men¬jelang permulaan dan akhir pertandingan.
B.  Saran
Membahas tentang anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya maka ada beberapa saran yang dapat digaris bawahi dalam makalah ini antara lain :
1.       Didalam memahami anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya diharapkan setiap individu mampu dan memahami tentang anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya. Pada hakikatnya setiap individu diharapkan mampu memahami anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya ini, yakni keluarga pendidik dan penentu kebijakan yang berkepentingan didalamnya sebagai tempat atau wadah pengembang pendidikan agar menjadi lebih luas dalam perkembanganan pendidikan terutama perkembangan psikologi olahraga dalam pendidikan jasmani dan olahraga.
2.       anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya tidak dapat dipisahkan karena ketiganya saling mempengaruhi didalam meningkatkan dan mengembangkan prestasi atlet.
















DAFTAR PUSTAKA
http://wulanyunitadari.blogspot.co.id/2016/04/definisi-stres-cemas-dan-frustasi-dalam_4.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah evaluasi penjas

FRUSTASI DAN AGRESIVITAS OLAHRAGA

EMOSI DAN OLAHRAGA